Langsung ke konten utama

Sabtu bersama Bapak.


"Dalam sebuah hubungan butuh dua orang yang sama-sama kuat, bukan yang saling melengkapi kelemahan. Karena menjadi kuat adalah tanggung jawab masing-masing orang. Bukan menjadi tanggung jawab orang lain" -Cakra

Tulisan ini bukan untuk mereview, apalagi mengkritik film. Cuma share aja, gimana kesan saya setelah nonton film ini.

Senin 11 Juli yang lalu, di saat yang lain sudah masuk kerja pasca libur lebaran, saya dan adik saya memang sengaja cuti. Mau nonton film Sabtu Bersama Bapak ini. Film ini memang saya tunggu-tunggu, diangkat dari novel dengan judul yang sama karya Adhitya Mulya. "Sabtu bersama Bapak".

Jujur, saya agak takut kalau nonton film yang diangkat dari novel atau buku. Khususnya yang sudah pernah saya baca. Sabtu Bersama Bapak ini saya beli bukunya udah agak lama, nggak ingat tahun berapa. Saya memang suka dengan novel karya Adhitya Mulya, dan istrinya, Ninit Yunita. Jadi pas tau beliau ngeluarin buku baru, saya langsung cek dan tertarik untuk baca. Bukunya bagus banget, saya suka. Banyak sekali pelajaran yang bisa diambil di dalamnya. Karena bukunya bagus inilah, saya agak was-was kalau filmnya nggak sebagus di novel. Sadar nggak sadar, suka atau nggak suka, saya pasti ngebandingin cerita yang ada di novel dengan yang di film. Ngebandingin dengan yang ada di ingatan saya, walaupun kadang saya juga nggak ingat-ingat banget. haha

Tapi, kali ini entah kenapa saya yakin filmnya bakal bagus, karena screenplay nya ditulis oleh Adhitya Mulya sendiri bersama Monti Tiwa.

Sabtu Bersama Bapak versi Novel dan Poster Filmnya
Film ini menceritakan tentang keluarga Garnida. Sang Bapak, Gunawan Garnida (Abimana Aryasatya) yang harus meninggalkan keluarga tercintanya, karena penyakit yang ia derita. Gunawan tidak ingin ingin istrinya, Itje serta anak-anaknya, Satya dan Cakra, kehilangan sosoknya begitu saja. Gunawan pun merekam pesan-pesan untuk kedua anaknya. Setiap hari Sabtu, ibu Itje akan memutar video rekaman tersebut untuk kedua anaknya. Satya dan Cakra tumbuh dewasa dengan pesan-pesan Bapak mereka. Satya telah berkeluarga dan memiliki dua orang putra. Cakra sudah menjadi manajer, tetapi belum memiliki pasangan. Bagaimana Satya (Arifin Putra), Cakra (Deva Mahenra), dan Ibu Itje (Ira Wibowo) mengaplikasikan pesan-pesan Bapak lah, yang menjadi inti cerita di film ini.

Seperti dugaan saya, film nya bagus dan sukses bikin saya nangis. Sedihnya dapet, lucunya dapet, romantisnya juga ada, dan yang pasti alur ceritanya tersampaikan dengan baik. Ceritanya tidak jauh dari buku, bukan cuma ceritanya saja, tetapi feel nya juga sama.

Saya suka bagaimana film ini memvisualisasikan kehadiran tokoh Bapak dimunculkan, tidak semata-mata hanya dari rekaman video yang diputar. Film ini berhasil, sekali lagi buat saya, merasakan bahwa sosok Bapak di keluarga mereka begitu melekat dan bisa diandalkan dalam setiap permasalahan yang mereka hadapi.

Hal yang paling saya tunggu-tunggu di film ini adalah Cakra dan teman-teman kantornya yang suka usil tapi berniat baik untuk membuat Cakra nggak jomblo lagi. Secara hal ini adalah poin komedi di cerita yang bakal sayang banget kalau dilewatin.
Dan saya suka, nggak kecewa deh karena hubungan mereka diceritakan dengan baik, komplit dengan chattingan mereka yang lucu.

Emosi saya naik turun, udah habis ngetawain tingkah Cakra yang aneh, lucu, dan menggemaskan. Seisi bioskop dibawa haru saat ibu Itje didiagnosa kanker tetapi tidak ingin memberitahu anak-anaknya. Alasannya nggak ingin ngerepotin dan membuat khawatir anak-anak. Ah, sedih banget. Jadi teringat Ibu dan Bapak saya. Pasti ada banyak hal yang mereka tidak ceritakan ke saya, dengan alasan yang sama. Dan saya rasa, semua orang tua pasti begitu.

Adegan lain yang bikin saya baper itu, waktu Rissa (Acha Septriasa), istri Satya meninggalkan rumah dan nelpon ibu mertuanya. Dia curhat bahwa dia sudah berusaha melakukan yang terbaik buat suaminya, tetapi semuanya tidak dihargai. Waduh, saya ikut terharu pas adegan ini. Baper euy, haha. Sisi wanita saya tersenggol banget.

Trus pas Satya nangis memeluk Bapaknya (dalam mimpi), sambil bilang "Satya rindu Bapak". Nyess, air mata pun jatuh tak tertahankan.... Rasanya pengen peluk Bapak saya saat itu juga!

Pesan yang paling saya ingat dari film ini adalah tentang merencanakan masa depan, tanpa mengabaikan apa yang sudah kita miliki saat ini, terutama keluarga. Karena keluarga adalah kunci penting dalam kehidupan kita.

Semoga Bapak dan Ibu saya selalu diberikan kesehatan dan berada dalam lindungan Allah SWT, Amiin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

700 Days of Battle: Us vs The Police

This movie is absolutely worth to watch on my-absolutely-do-nothing-Saturday night! Ini film udah lama banget rilisnya, 2008, dan 2016 ini saya baru nonton. Kali ini saya melebarkan sayap ke film Jepang. Saya memang jarang nonton film Jepang, tapi menurut saya Jepang punya banyak film bagus yang layak ditonton. Apalagi kalau temanya persahabatan, Jepang memang paling bisa deh. Film ini bahkan masuk dalam daftar film komedi terbaik versi saya. So, awalnya saya cuma iseng nyari rekomendasi film Jepang yang bagus ditonton. Dari beberapa blog yang saya baca, di dalamnya pasti ada film ini sebagai film komedi Jepang yang wajib ditonton. So, jadilah saya selanjutnya ngubek2 gugel buat nyari file download nya.  Karena film ini film lama, saya yakin pasti udah banyak di website2 download film plus dengan subtitle yang sudah oke. Akhirnya saya download di  dramacool.com .  Awalnya jujur, saya agak ragu karena posternya nggak menarik buat saya. Nggak lucu kelihat

Nonton Film

Kalau ditanya hobi, saya pasti jawab membaca. Tapi sebenarnya, saya nggak cuma suka baca, saya juga suka nonton. baik drama serial ataupun film. Hehe. Nonton sama baca novel itu mirip sih, buat saya. Dua media ini bisa banget buat saya terhibur dan belajar. Cuma bedanya, dari novel imajinasi saya melanglang buana, menghidupkan karakter-karakternya versi saya, bahkan terkadang saya lah tokoh utamanya. Tapi kalau di film, karakter-karakter itu sudah tersaji di depan mata tinggal dinikmatin dan dicerna dengan sebaik mungkin. Saya kalau milih film apa yang mau ditonton, disesuaikan dengan mood saya saat itu. Jadi kalau lagi moodnya pengen yang lucu-lucu ya nonton film komedi, kalau lagi pengen yang romantis ya nonton yang drama, kalao lagi melankolis ya  nonton yang sedih, gitu. Tapi maunya tuh, kalau komedi ya yang lucu banget. Kalau sedih ya yang bikin nangis sekalian, gitu, tapi kalau horor ya cukup seadanya aja nggak usah yang terlalu serem. Nggak kuat cyiiiin, haha. Dari

Adios, 2019

Another year passed in a blink of eye. Kali ini postingan di Desember bukan dalam rangka merayakan hari jadi. Biasanya kan, setiap tanggal satu atau paling telat tanggal 2 nya. Hari ini malah the last day of December, 31 Desember. Farewell post untuk tahun 2019 (sok banyak postingan, haha). Well, sebelum kita move on to 2020, kita throwback dulu apa aja yang terjadi di 2019 ini. #15Januari2019 Sebuah harapan yang menjadi kenyataan. Dinyatakan diterima menjadi abdi negara, setelah 5 kali ikut tes dengan formasi dan instansi yang berbeda-beda. Akhirnya, ketika tahun lalu niatnya hanya mencoba -ga pake harapan yang besar, diterima. Ga main-main, jadi guru pula. Sesuatu yang sebenarnya ga pernah terfikirkan sebelumnya, tetapi akhirnya menjadi jalan hidup, haha. Yang ga bisa dilupakan adalah kegalauan yang menghampiri setelah pengumuman, diterima berarti resign. Diterima berarti pindah. Pindah berarti mulai lagi dari nol. #Februari2019 Pemberkasan, mulai dari urusan leg